Bara di Bumi Sangatta

Posted on Juni 8, 2008

0


BARA di bumi Sangatta belum jua padam. Padahal, sudah 11 tahun lewat sengketa itu bergelora. Tapi, tabuhan gendang perang warga Sangatta belum usai berdentum. Tanah bagian timur peninggalan raja Mulawarman Kutai Negara itu kini benar-benar tengah membara akibat perebutan tambang batu bara atas nama Kaltim Prima Coal (KPC).

Sangatta memang telah menjadi saksi sengketa antara pemerintah pusat, daerah, dan pihak KPC. Penyebabnya, soal pembagian 51 persen porsi saham yang mesti dilepas KPC sebagai bagian dari kewajiban kontrak karya. Masalah ini terus berlarut. Meski Rio Tinto dan Beyond Petroleum (BP) Plc, selaku pemilik awal KPC, sudah melepas 100 persen sahamnya ke Bumi Resources, pada 2004.

Namun, pelepasan saham ke anak usaha Grup Bakrie ini dinilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur sebagai rekayasa keuangan yang dilakukan oleh BP dan Rio Tinto. Perusahaan tambang asal Inggris dan Australia itu seolah-olah memosisikan KPC sudah memenuhi kewajiban divestasinya dengan menjual seluruh sahamnya ke Bumi.

Meskipun, Bumi membeli 100 persen saham KPC dengan harga sangat murah. Lebih rendah dari harga 51 persen saham KPC yang ditawarkan ke Pemprov Kalimantan Timur.

Saat itu, untuk 100 persen saham, Bumi hanya merogoh kocek US$500 juta. Padahal, semula untuk 51 persen saham, pihak KPC mematok US$822 juta kepada Pemprov Kalimantan Timur.

”Apalagi, sebelum transaksi Bumi terjadi waktu itu, kami pernah menyetujui harga yang diminta KPC. Tapi, negosiasi tetap menemui jalan buntu. Ada-ada saja alasannya,” kata Sekretaris Provinsi Kalimantan Timur, Syaiful Teteng.

Menurut Teteng, pada waktu itu, Gubernur Kalimantan Timur Suwarna A.F menyatakan bersedia membeli 51 persen saham KPC. Tetapi, dalam perjalanannya, proses pembelian saham ini terkatung-katung.

Kedua pihak tak sepakat soal harga. Pemprov Kalimantan Timur menawar US$297 juta. KPC menolak. Lantaran berlarut-larut, Pemprov Kalimantan Timur menggugat KPC ke pengadilan pada 2001.

Namun, upaya ini kandas. Sebab, pemerintah pusat meminta Kalimantan Timur mencabut gugatannya. Tapi, belakangan KPC, lewat PT Bumi Resources Indonesia, menjual sahamnya kepada PT Sitrade Nusa Globus. ”Bagi pemerintah pusat, persoalan ini dianggap selesai. Sesuai aturan. Pokoknya saham dialihkan ke perusahaan nasional. Tapi, bagi kami sebaliknya,” kata Teteng.

Karena itulah, dia menganggap kepentingan daerah sudah diabaikan. Pemprov Kalimatan Timur sampai kini terus menuntut bagian saham KPC. Dasarnya, kesepakatan catatan rapat (minutes of meeting) kabinet terbatas pada 30 Juli 2002 dan rapat koordinasi menteri pada 31 Oktober 2002.

Rapat itu dihadiri Gubernur Suwarna AF, DPRD Kalimantan Timur, serta Bupati dan DPRD Kutai Timur. Wakil pemerintah pusat adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri ESDM, dan Menko Perekonomian. Dalam rapat itu, disepakati pemerintah daerah (Pemda) diberi kesempatan membeli saham KPC.

”Atas dasar ini, kami melayangkan gugatan arbitrase ke ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) April 2006 silam.”

Gugatan Pemrov Kalimantan Timur itu juga dibarengkan dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang ditujukan kepada KPC, Rio Tinto, dan BP Plc. Saat ini, proses arbitrase di ICSID sudah memasuki dua kali persidangan. Rencananya, untuk sidang ketiga bakal digelar pada pertengahan April.

Pada sidang kedua 27 Februari 2008 di Singapura lalu, sidang membahas masalah yurisdiksi Pemrov Kalimantan Timur mengajukan gugatan terhadap KPC, dengan menghadirkan tiga saksi, yaitu Sekjen Departemen ESDM Wayono Karno, Dirjen Mineral Batubara dan Panas bumi (Minerbapabum) Departemen ESDM, Simon F. Sembiring, dan Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim. Akan tetapi, hanya Simon yang menghadiri sidang itu.

Menanggapi gugatan itu, pihak KPC mengaku telah menyerahkannya kepada PT Bumi Resources. “Silahkan menghubungi Bumi saja,” ujar Harry Nuriman, Superintendent Public Communication KPC.

Sedangkan pihak Rio Tinto sendiri menyatakan siap berhadapan dalam sidang ICSID. “Kalau misalnya nanti diloloskan, kami sudah siap segalanya,” kata Budi Irianto, Manager Community Relations and External Affair Rio Tinto Indonesia.

President Director PT Bumi Resources Tbk, Ari Saptari Hudaya berpendapat, masalah divestasi KPC sebenarnya telah tuntas dan tak ada masalah.

“Sebenarnya, masalah divestasi (KPC) itu sudah tuntas. Bila tidak, tentunya Tata (Tata Power Company Limited) tak membeli saham KPC. Tetapi, bila kami dipanggil ya…kami akan datang untuk menghormati proses hukum,” katanya kepada Jurnal Nasional.

Ari menjelaskan, baik divestasi 18,6 persen maupun 32,4 persen telah selesai dan telah mendapat persetujuan Departemen ESDM dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sesuai dengan UU yang berlaku.

Bumi Resources adalah pemilik KPC dan PT Arutmin Indonesia. Pada 30 Maret 2007, Tata memenangkan pembelian 30 persen saham KPC dan Arutmin (milik Bumi) dengan harga total US$1,3 miliar.

Dirjen Minerbapabum, Simon Felix Sembiring menegaskan, persoalan divestasi saham KPC sudah tuntas di mata pemerintah pusat. “Soal itu sudah tuntas di mata pemerintah pusat.”

Namun, Wakil Bupati Kutai Timur, Isran Noor menilai persoalan divestasi KPC belum pernah tuntas. Dia meyakini dan optimistis keberadaan pemda, sebagai penggugat, bisa diterima oleh Majelis Tribunal, yang beranggotakan Gabriel Kaufhman (ketua), Michael Hwang, dan Albert Jan van den Berg di arbitrase.

Dia menyatakan para tergugat lemah dari sisi materi dan hanya bertujuan untuk menggagalkan, bahkan mengharapkan kasus itu tidak terus bergulir dalam sidang arbitrase.

“Pihak tergugat hanya punya satu tujuan, bagaimana membatalkan sidang karena menganggap pemda tak punya kewenangan, yaitu tak ikut dalam penandatanganan kontrak, seperti disebutkan surat Simon (Sembiring, Dirjen Minerbapum) pada 10 Agustus 2004. Kalau dari sisi materi mereka kalah,” katanya.

Dalam persidangan ini, ketua tim pengacara KPC yaitu Michael P Lennon, sedangkan kuasa hukum Rio Tinto adalah Todung Mulya Lubis.

Menurut Isran, divestasi 18,6 persen saham KPC, yang dikuasai Bumi kepada Pemkab Kutai Timur, sebagai transaksi semu. Isran menegaskan hingga kini pemda belum pernah mengetahui bahwa saham tersebut masuk dalam pencatatan aset daerah. “Divestasi itu akrobat. Perusahaan daerah tak pernah menerima manfaat dari divestasi itu.”

Isran juga menyangsikan nilai dividen yang diterima Pemkab Kutai Timur, yang hanya Rp12 miliar per tahun dari 5 persen saham. ”Tak ada dasar perhitungan yang jelas dari Bumi.”

Sementara itu, Todung Mulia Lubis, kuasa hukum BP Plc manyatakan, proses divestasi saham KPC sudah sesuai perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Dalam perjanjian itu disebutkan, saham dijual ke pihak nasional. “Jadi bisa siapa saja, swasta, perseorangan, atau BUMN. Tidak ada keharusan KPC melepas sahamnya kepada Pemprov Kalimantan Timur,” Todung menegaskan.

Posted in: Pertambangan